Kaharingan adalah nama agama orang-orang Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut orang Dayak Ngaju, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Bagi mereka, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Datangnya agama-agama tersebut ke tengah orang Dayak Ngaju menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai Agama Helo (agama lama), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).
Orang Dayak Ngaju memang tidak mempunyai nama khusus yang terberikan (given) untuk menyebutkan sistem kepercayaan mereka. Ketika bertemu dengan orang-orang non-Dayak, mereka menyebut agama mereka sebagai Agama Dayak atau Agama Tempon. Hans Schärer dalam disertasi doktoralnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk menyebutkan sistem kepercayaan dan praktek keagamaan asli orang Dayak Ngaju ini (buku asli 1946, 1963:12). Pandangan Schärer sangatlah kontras dengan pandangan umum pada waktu itu yang melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa agama,” “kafir” atau “heiden”.
Sekitar pertengahan tahun 1945, kepercayaan asli orang Dayak ini telah mempunyai nama tersendiri yaitu Kaharingan. Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Dalam bahasa Dayak Ngaju sehari-hari kata Kaharingan berarti “hidup” atau “ada dengan sendirinya” sementara dalam basa Sangiang yaitu bahasa para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan”.
Pada zaman Jepang, Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat. Untuk mencari simpati dan dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto, karena itu pada zaman Jepang untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang Kaharingan serta kebudayaan Dayak, pemerintah Jepang menyediakan semacam Pusat Penelitian (Puslit) yang disebut dengan Bagian Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan. Salah satu kegiatan Pusat Penelitian yang berkedudukan di Banjarmasin dan di bawah pimpinan Prof. K. Uyehara adalah melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk mengadakan survei dan pendokumentasian adat dan kebudayaan Dayak. Dalam perjalanan ke pedalaman itu, dibawa serta orang-orang lokal yang dianggap tahu banyak tentang Kaharingan dan kebudayaan Dayak, antara lain Tjilik Riwut dan Damang Yohanes Salilah.
taken from : kaharingan.wordpress.com